Ekspatriat, TKI, dan Buruh Migran: Istilah Berbeda, Nasib Tak Sama

Perdebatan mengenai istilah ekspatriat, Tenaga Kerja Indonesia (TKI), dan buruh migran kembali mencuat dalam diskursus publik, terutama terkait persepsi sosial, status ekonomi, hingga perlakuan hukum. Ketiga istilah ini merujuk pada individu yang bekerja di luar negara asalnya, namun penggunaannya mencerminkan perbedaan kelas dan status yang signifikan.

Ekspatriat atau yang kerap disebut ekspat biasanya merujuk pada tenaga kerja asing berketerampilan tinggi yang bekerja di luar negeri dalam kapasitas profesional. Istilah ini lazim digunakan untuk warga negara Barat yang bekerja di negara-negara berkembang. Mereka umumnya bekerja di sektor perbankan, teknologi, manajemen, dan posisi strategis lainnya.

Sementara itu, TKI adalah istilah resmi yang digunakan pemerintah Indonesia untuk menyebut warganya yang bekerja di luar negeri. Mereka bisa berasal dari berbagai latar belakang keterampilan, mulai dari pekerja rumah tangga hingga perawat, sopir, maupun pekerja sektor jasa dan manufaktur.

Buruh migran, di sisi lain, merupakan istilah yang lebih umum dan netral. Istilah ini bisa digunakan untuk menyebut siapa pun yang bermigrasi ke negara lain demi pekerjaan, baik warga negara Indonesia maupun warga negara lain. Sayangnya, kata “buruh” sering diasosiasikan dengan pekerjaan rendahan, sehingga istilah ini cenderung kurang populer dalam wacana resmi.

Ironisnya, ekspatriat hampir selalu diasosiasikan dengan status ekonomi yang tinggi dan gaya hidup mewah. Mereka tinggal di apartemen elite, menikmati fasilitas perusahaan, dan jarang mengalami diskriminasi. Sebaliknya, TKI dan buruh migran kerap menghadapi tantangan berat, mulai dari upah rendah, kekerasan, eksploitasi, hingga minimnya perlindungan hukum.

Padahal, secara esensial, mereka sama-sama pekerja migran. Namun, narasi yang dibangun dalam masyarakat dan media cenderung menempatkan ekspatriat di posisi terhormat, sementara buruh migran seringkali berada di posisi yang terpinggirkan. Perbedaan istilah ini turut membentuk persepsi yang tak seimbang terhadap realitas tenaga kerja global.

Dalam konteks hukum, perlakuan terhadap ekspatriat dan buruh migran pun berbeda. Banyak negara yang memiliki kebijakan khusus untuk menarik ekspatriat karena dianggap memberi nilai tambah terhadap perekonomian. Sebaliknya, buruh migran kerap kali dianggap sebagai kelompok yang "membebani" sistem sosial dan dianggap sebagai ancaman terhadap tenaga kerja lokal.

Diskriminasi berbasis istilah ini pun tak hanya terjadi di luar negeri. Di dalam negeri, pekerja Indonesia yang kembali dari luar negeri sering kali distigmatisasi sebagai "TKI gagal" jika mereka pulang tanpa membawa kekayaan. Mereka jarang dihargai sebagai pahlawan devisa yang telah menyumbang triliunan rupiah kepada negara.

Sementara itu, warga asing yang bekerja di Indonesia nyaris tak pernah disebut sebagai "buruh asing". Mereka mendapat label ekspatriat, yang terkesan lebih bermartabat dan profesional. Padahal, beberapa di antaranya melakukan pekerjaan yang tak jauh berbeda dari para TKI di luar negeri.

Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan semantik yang mencerminkan ketimpangan sosial dan ekonomi yang lebih besar. Perbedaan istilah menciptakan hierarki simbolik yang memperkuat stereotip, memperlemah solidaritas antar pekerja, dan menjauhkan kita dari pemahaman yang adil tentang migrasi kerja.

Banyak pihak menilai bahwa perlu ada standardisasi istilah yang lebih adil dan inklusif. Penggunaan istilah "pekerja migran" misalnya, dianggap lebih setara karena tidak membedakan berdasarkan kebangsaan, jenis pekerjaan, atau tingkat keterampilan. Istilah ini juga digunakan oleh organisasi internasional seperti ILO dan IOM.

Namun, perubahan istilah tak akan berarti tanpa disertai dengan perubahan kebijakan. Perlindungan terhadap pekerja migran, baik mereka yang disebut ekspatriat maupun buruh, harus dilakukan secara menyeluruh dan berkeadilan. Tidak seharusnya status hukum dan sosial ditentukan oleh dari mana seseorang berasal atau seberapa besar gajinya.

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan perlindungan terhadap TKI, termasuk melalui penandatanganan perjanjian bilateral dengan negara tujuan serta memperketat proses penempatan tenaga kerja. Meski demikian, praktik-praktik eksploitasi masih kerap terjadi di lapangan.

Penting juga untuk mengedukasi masyarakat mengenai peran dan kontribusi pekerja migran terhadap perekonomian, baik di dalam maupun luar negeri. Mereka bukanlah individu yang patut dipandang rendah, tetapi bagian penting dari jaringan ekonomi global yang saling terhubung.

Media memiliki peran besar dalam membentuk persepsi publik. Oleh karena itu, penting bagi media untuk lebih berhati-hati dan adil dalam menggunakan istilah, agar tidak terus menerus mereproduksi ketimpangan simbolik yang merugikan kelompok tertentu.

Pada akhirnya, pekerjaan di luar negeri, apa pun bentuknya, adalah bentuk usaha untuk bertahan hidup dan memperbaiki nasib. Istilah yang digunakan seharusnya mencerminkan rasa hormat dan pengakuan atas kerja keras, bukan sebaliknya.

Selama kita masih memisahkan antara ekspatriat dan buruh migran dengan standar ganda, selama itu pula ketidakadilan akan terus berlangsung dalam lanskap tenaga kerja global. Saatnya kita mengganti lensa, agar setiap pekerja mendapat tempat yang setara di mata publik dan hukum.

Perubahan dimulai dari bahasa. Dan dengan bahasa yang adil, kita bisa memulai langkah kecil menuju masyarakat yang lebih setara dan manusiawi.

Dibuat oleh AI
Share on Google Plus

About peace

Sejarah mencatat bahwa Nusantara bukanlah wilayah yang terisolasi. Jauh sebelum era kolonial, bahkan sebelum nama Indonesia dikenal dunia, telah ada kaum perantau dari kepulauan ini yang menjelajahi samudra, membawa kebudayaan, keterampilan, dan teknologi mereka ke berbagai penjuru dunia. Salah satu komunitas diaspora tertua yang jarang disinggung adalah kaum Sayabiga (berasal dari kata Sabak sebuah daerah di Jambi), pelaut-pelaut tangguh dari wilayah Nusantara yang jejaknya tercatat sejak zaman Mesopotamia.

0 komentar:

Posting Komentar