Kisah ratusan pekerja dan insinyur PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang hijrah ke Brazil pasca krisis moneter 1998 menjadi babak yang jarang dibicarakan dalam sejarah industri dirgantara nasional. Saat ekonomi Indonesia runtuh akibat krismon, proyek ambisius pengembangan pesawat terhenti, dan para ahli pesawat pun kehilangan pekerjaan. Dalam situasi yang kacau itu, banyak dari mereka memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, salah satunya di Brazil.
Negara Amerika Latin itu bukan tujuan biasa bagi TKI. Namun, Brazil memiliki industri dirgantara yang berkembang pesat melalui Embraer, salah satu produsen pesawat regional terbesar di dunia. Embraer melihat peluang dari situasi Indonesia saat itu, dengan merekrut puluhan hingga ratusan tenaga ahli eks IPTN yang kehilangan harapan di tanah air. Para insinyur dan teknisi dari Bandung pun berangkat, membawa keahlian dan pengalaman bertahun-tahun.
Keputusan ini bukan tanpa pengorbanan. Banyak dari mereka harus meninggalkan keluarga, rumah, dan kehidupan mapan yang sebelumnya dibangun melalui proyek ambisius pesawat N-250. Namun, di tengah keterpurukan ekonomi nasional, menjadi TKI justru menjadi pilihan rasional untuk menyambung hidup dan tetap berkiprah di dunia aviasi.
Fenomena ini terjadi ketika IPTN dipaksa menghentikan operasinya dan merumahkan ribuan karyawan. Saat itu, intervensi IMF turut membuat proyek pengembangan pesawat dihentikan karena dianggap membebani keuangan negara. Padahal, proyek N-250 merupakan simbol kebanggaan teknologi Indonesia.
Di saat Indonesia menutup pintu bagi pengembangan pesawat, Brazil justru memperluas kapasitas produksinya. Para insinyur Indonesia disambut hangat karena dinilai memiliki kemampuan unggul. Mereka tak hanya dipekerjakan sebagai teknisi, tetapi juga dipercaya dalam proses desain, pengujian, hingga sertifikasi pesawat.
Hingga kini, sebagian dari mereka masih menetap di Brazil. Mereka telah menjadi warga dunia yang diakui dalam bidang teknologi penerbangan. Namun, di balik cerita keberhasilan pribadi itu, tersimpan ironi mendalam: Indonesia kini kekurangan tenaga ahli dirgantara, sementara putra-putri terbaiknya membangun industri pesawat di negeri orang.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mulai kembali menggeliatkan industri kedirgantaraan melalui PT Dirgantara Indonesia (PTDI), yang merupakan kelanjutan dari IPTN. Namun, tantangan besar muncul: banyak tenaga ahli terbaik sudah tidak lagi berada di tanah air. Membangun ulang dari nol tidak semudah membalikkan tangan.
Para insinyur yang dulu berkontribusi besar dalam proyek N-250 kini telah menjadi aset negara lain. Kemampuan mereka dalam merancang dan mengembangkan pesawat telah diasah dan dimanfaatkan oleh industri luar. Sementara itu, Indonesia harus kembali melatih generasi baru, yang memerlukan waktu, biaya, dan pengalaman panjang.
Akibat dari hilangnya SDM unggul ini, beberapa proyek pengembangan pesawat di Indonesia kerap terhambat, baik dari segi desain maupun produksi. Kekurangan tenaga ahli membuat Indonesia harus bergantung pada bantuan teknis luar negeri untuk menyelesaikan tahapan-tahapan krusial.
Bukan hanya dari aspek teknis, tetapi juga dalam hal inovasi dan riset. Para ahli yang telah merantau ke Brazil sejatinya memiliki pengalaman unik yang tak tergantikan. Mereka menyaksikan dari dekat bagaimana industri dirgantara bisa bertumbuh lewat dukungan kebijakan jangka panjang dan keberanian mengambil risiko teknologi.
Kisah ini menjadi pelajaran pahit bahwa investasi pada manusia jauh lebih penting daripada sekadar infrastruktur fisik. Saat krisis menerpa, Indonesia kehilangan bukan hanya uang, tetapi juga otak-otak brilian yang selama ini menjadi tulang punggung inovasi pesawat terbang.
Kini, Indonesia sedang mengejar ketertinggalan. Program revitalisasi PTDI dan pendidikan vokasi mulai dikembangkan. Namun, celah yang ditinggalkan oleh para insinyur eksodus belum sepenuhnya terisi. Ada harapan untuk menarik mereka pulang, tapi tak sedikit pula yang sudah berakar kuat di luar negeri.
Meski jauh dari tanah kelahiran, para mantan insinyur IPTN itu tak pernah melupakan asal-usulnya. Beberapa dari mereka tetap menjalin komunikasi dengan universitas dan lembaga riset di Indonesia. Namun, tanpa ada skema serius dari negara untuk memanggil mereka pulang, potensi itu hanya tinggal nostalgia.
Kondisi ini juga mencerminkan bagaimana krisis ekonomi bisa mengubah arah hidup dan nasib teknologi suatu bangsa. Ketika keputusan tergesa-gesa diambil tanpa perhitungan jangka panjang, hasilnya bisa berdampak selama puluhan tahun.
Tak dapat dipungkiri, Brazil menjadi contoh sukses bagaimana negara bisa tumbuh dalam bidang teknologi jika serius dan konsisten. Dan ironisnya, sebagian keberhasilan itu ditopang oleh keahlian putra bangsa Indonesia yang tak mendapat ruang di negerinya sendiri.
Wacana untuk membangun pesawat nasional kembali menggema, namun mimpi itu sulit tercapai tanpa dukungan penuh terhadap SDM dan komitmen kebijakan yang tahan banting. Bukan hanya semangat, tetapi juga strategi, keberlanjutan, dan penghargaan terhadap para ahli yang telah terbukti mampu.
Kita bisa belajar dari masa lalu. Jika ingin bangkit, Indonesia tak hanya perlu teknologi dan dana, tetapi juga jaminan bahwa krisis tak akan kembali mengorbankan para pelaku utamanya. Tanpa itu, sejarah bisa kembali terulang: para ahli pergi, dan bangsa ini hanya jadi penonton di industri yang dulu pernah dibangunnya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar