Jejak Sayabiga, Diaspora Pertama Nusantara di Dunia

Sejarah mencatat bahwa Nusantara bukanlah wilayah yang terisolasi. Jauh sebelum era kolonial, bahkan sebelum nama Indonesia dikenal dunia, telah ada kaum perantau dari kepulauan ini yang menjelajahi samudra, membawa kebudayaan, keterampilan, dan teknologi mereka ke berbagai penjuru dunia. Salah satu komunitas diaspora tertua yang jarang disinggung adalah kaum Sayabiga (berasal dari kata Sabak sebuah daerah di Jambi), pelaut-pelaut tangguh dari wilayah Nusantara yang jejaknya tercatat sejak zaman Mesopotamia.

Sayabiga adalah kelompok pelaut dan tentara bayaran yang disebut dalam catatan sejarah Arab dan Persia. Mereka dikenal berasal dari wilayah pulau-pulau Asia Tenggara yang kini menjadi bagian dari Indonesia dan sekitarnya. Dalam berbagai catatan kuno, Sayabiga bekerja untuk kerajaan-kerajaan besar seperti Sassaniyah di Persia dan bahkan sempat tercatat dalam interaksi dengan wilayah Mesopotamia.

Keterampilan kaum Sayabiga dalam bidang maritim tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka dikenal sebagai navigator ulung dan pengrajin kapal yang ahli. Tak hanya berlayar, kaum ini juga membawa serta budaya agrarisnya, termasuk teknik penanaman padi yang kemudian tersebar ke berbagai wilayah yang mereka singgahi. Inilah salah satu bukti bahwa diaspora awal Nusantara sudah memiliki pengaruh dalam menyebarkan teknologi pertanian sejak milenium pertama.

Jejak Sayabiga di wilayah Teluk Persia menjadi bukti bahwa Nusantara sudah sejak lama terlibat dalam jaringan perdagangan dan militer internasional. Dalam naskah-naskah Arab, mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang loyal, tangguh, dan memiliki kemampuan tempur tinggi. Ini menunjukkan bahwa diaspora Nusantara bukan hanya pedagang, tetapi juga pelindung dan bagian dari sistem kekuasaan yang luas.

Yang menarik, setelah masa kejayaan Sayabiga memudar, warisan mobilitas dan ekspansi maritim ini diteruskan oleh kerajaan besar Sriwijaya. Berbasis di Sumatera, Sriwijaya dikenal sebagai kekuatan maritim terbesar Asia Tenggara pada abad ke-7 hingga 13. Salah satu ekspansi luar biasa mereka adalah kolonisasi Madagaskar, sebuah pulau besar di Samudra Hindia yang kini menjadi bagian dari Afrika Timur.

Berbagai penelitian linguistik, arkeologis, dan genetik telah membuktikan bahwa populasi asli Madagaskar memiliki campuran darah Austronesia dan Afrika. Analisis genetik menunjukkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari wilayah Kalimantan dan Sumatera, dan tiba di Madagaskar sekitar abad ke-8. Ini memperkuat dugaan bahwa Sriwijaya meneruskan tradisi diaspora Sayabiga dan mengukir sejarah perantauan yang luar biasa.

Di Madagaskar, para pelaut dari Nusantara tak hanya menetap, tetapi juga membawa berbagai tanaman tropis seperti padi, kelapa, dan pisang. Pengenalan sistem pertanian sawah di pulau itu merupakan pengaruh langsung dari budaya agraris Austronesia. Bahkan, sistem navigasi dan teknologi pembuatan kapal pun diwariskan kepada penduduk lokal, yang hingga kini masih menunjukkan kesamaan dengan tradisi maritim Asia Tenggara.

Bahasa Malagasi, bahasa nasional Madagaskar, merupakan salah satu bukti paling konkret dari hubungan ini. Bahasa tersebut memiliki akar yang kuat dari bahasa Barito Timur di Kalimantan, membuktikan bahwa diaspora Nusantara bukan mitos, melainkan fakta sejarah yang kini didukung berbagai bukti ilmiah.

Mobilitas kaum Sayabiga dan ekspansi Sriwijaya menunjukkan bahwa sejak ribuan tahun lalu, bangsa Indonesia sudah punya naluri menjelajah dan membangun pengaruh lintas benua. Mereka bukan masyarakat pasif, melainkan pelaku aktif dalam jaringan dunia kuno. Mereka menyebarkan lebih dari sekadar barang dagangan—mereka membawa kebudayaan, bahasa, teknologi, dan pengetahuan yang mempengaruhi masyarakat di luar kepulauan ini.

Jejak-jejak ini sekaligus menantang narasi lama yang menggambarkan bangsa Indonesia hanya sebagai korban kolonialisme. Sebaliknya, bangsa ini punya sejarah kolonisasi dan diaspora yang panjang dan terhormat, yang belum banyak diangkat dalam kurikulum sejarah nasional.

Sayabiga dan Sriwijaya menjadi simbol kejayaan maritim yang hari ini bisa menjadi inspirasi. Saat bangsa ini ingin kembali menjadi kekuatan maritim dunia, penting untuk menggali dan memahami sejarah diaspora awal ini sebagai bagian dari identitas dan potensi bangsa.

Ironisnya, sejarah gemilang ini justru banyak tenggelam dalam ingatan kolektif masyarakat modern. Padahal, dengan menelusuri kembali jejak Sayabiga dan Sriwijaya, bangsa ini bisa membangun narasi alternatif tentang siapa dirinya, dari mana berasal, dan bagaimana perannya di dunia sejak ribuan tahun lalu.

Banyak sejarawan dunia kini mulai menaruh perhatian pada kontribusi kaum Austronesia dalam membentuk peradaban lintas samudra. Sayabiga dan para pelaut Sriwijaya bukan sekadar legenda, tetapi kunci memahami hubungan global pramodern yang melibatkan Indonesia sebagai aktor utama.

Di tengah derasnya arus globalisasi saat ini, penting bagi generasi muda Indonesia untuk memahami bahwa diaspora bukan hal baru. Sejak zaman dahulu, leluhur mereka telah menjejakkan kaki di tanah asing, membawa nama baik, keahlian, dan kebudayaan Nusantara ke panggung dunia.

Semangat perantauan yang dulu membawa Sayabiga ke Mesopotamia dan Sriwijaya ke Madagaskar bisa menjadi bekal menghadapi tantangan zaman. Dengan melihat ke belakang, bangsa ini bisa membangun masa depan yang lebih percaya diri dan berakar pada kejayaan sejarahnya sendiri.

Kini, tugas akademisi, pemerintah, dan masyarakat adalah merangkai kembali sejarah ini dalam narasi besar Indonesia. Sayabiga tak boleh hanya hidup di catatan sejarawan asing. Mereka harus menjadi bagian dari identitas nasional yang membanggakan, sebagai simbol bahwa bangsa ini telah lama punya tempat di peta sejarah dunia.

Dibuat oleh AI
Share on Google Plus

About peace

Sejarah mencatat bahwa Nusantara bukanlah wilayah yang terisolasi. Jauh sebelum era kolonial, bahkan sebelum nama Indonesia dikenal dunia, telah ada kaum perantau dari kepulauan ini yang menjelajahi samudra, membawa kebudayaan, keterampilan, dan teknologi mereka ke berbagai penjuru dunia. Salah satu komunitas diaspora tertua yang jarang disinggung adalah kaum Sayabiga (berasal dari kata Sabak sebuah daerah di Jambi), pelaut-pelaut tangguh dari wilayah Nusantara yang jejaknya tercatat sejak zaman Mesopotamia.

0 komentar:

Posting Komentar