Media memiliki peran penting dalam membentuk persepsi publik, terlebih ketika menyangkut isu perang dan konflik. Serangan-serangan Israel ke wilayah Suriah, khususnya ke kota Masyaf yang dikenal sebagai pusat penelitian dan fasilitas militer, menjadi salah satu contoh bagaimana redaksi berita dapat mengubah cara khalayak memandang sebuah peristiwa. Dalam banyak tayangan televisi dan laporan portal daring, narasi yang dipilih seringkali mengedepankan keberhasilan teknis Israel alih-alih menyoroti aspek hukum dan moral dari serangan itu sendiri.
Di sejumlah media berbahasa Arab yang berafiliasi dengan blok pro-Barat atau berpusat di Lebanon, headline yang muncul kerap berbunyi “Israel sukses hancurkan fasilitas militer Suriah di Masyaf.” Redaksi seperti ini memberi kesan bahwa keberhasilan Israel merupakan fokus utama berita. Padahal, jika ditarik ke ranah hukum internasional, yang seharusnya ditekankan adalah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan Israel dengan menyerang sebuah negara berdaulat.
Masyaf terletak jauh di dalam wilayah Suriah, bukan di perbatasan yang dipersengketakan. Artinya, tidak ada alasan logis untuk menyebut serangan Israel sebagai bagian dari “pembelaan diri.” Namun, framing media seakan menutupi fakta itu. Kata-kata yang dipilih cenderung netral, bahkan dalam beberapa kasus terkesan memberi pembenaran bagi tindakan militer Israel.
Bila kita membandingkan dengan standar pemberitaan yang benar-benar independen, seharusnya redaksi berita menekankan bahwa Israel kembali memasuki wilayah Suriah secara ilegal. Penjelasan semacam itu akan memberikan pemirsa gambaran nyata bahwa tindakan tersebut merupakan agresi dan bisa dikategorikan sebagai aksi teror terhadap negara lain.
Perbandingan sederhana dapat dibuat melalui analogi kasus kriminal. Bayangkan ada tindak pemerkosaan, lalu media menuliskan bahwa seorang pria “berhasil memasukkan alat kelaminnya” ke seorang wanita. Dari sisi bahasa, redaksi itu terdengar absurd sekaligus melecehkan korban. Begitu pula dengan pemberitaan serangan Israel yang lebih menonjolkan keberhasilan teknis, tanpa menyinggung kejahatan perang yang terkandung di dalamnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa berita bukan sekadar penyampaian fakta, melainkan juga arena perebutan narasi. Pihak yang berkuasa, atau memiliki pengaruh finansial dan politik terhadap media, bisa mengarahkan cara sebuah peristiwa diberitakan. Dalam kasus Suriah, banyak media Arab besar yang memilih menghindari penggunaan kata “agresi” atau “pelanggaran kedaulatan” karena dinilai terlalu konfrontatif terhadap Israel.
Meski begitu ada juga media yang berbasis Lebanon yang berafiliasi dengan pihak lain justru menggunakan istilah yang jauh lebih jujur. Mereka menyebut Israel melakukan “agresi kriminal,” “terorisme negara,” atau “serangan ilegal.” Perbedaan diksi ini menegaskan adanya perbedaan orientasi politik dan kepentingan di balik ruang redaksi masing-masing media.
Publik Arab sendiri menyadari adanya bias tersebut. Di media sosial, tidak sedikit warganet yang mempertanyakan kenapa serangan Israel ke Suriah justru diberitakan seperti laporan kemenangan militer, bukannya pelanggaran hukum internasional. Perdebatan ini semakin intens setelah setiap gelombang serangan baru, terutama ketika Israel menargetkan gudang atau pabrik di sekitar Masyaf.
Kasus yang sama juga pada pemberitaan genosida dan pembantaian di Gaza, Paalestina. Banyak media yang memilih diski pro Israel tanpa menghiraukan korban anak-anak dan wanita yang tewas dan dilarikan ke rumah sakit.
Di lapangan, serangan Israel memang menimbulkan kerusakan besar pada fasilitas yang dianggap strategis. Namun, itu tidak menghapus fakta bahwa serangan dilakukan secara sepihak tanpa deklarasi perang dan tanpa otorisasi PBB. Media yang menekankan aspek teknis justru berkontribusi dalam menormalkan pelanggaran hukum internasional ini.
Selain itu, pemilihan kata dalam pemberitaan juga berdampak pada legitimasi korban. Dengan menulis bahwa “Israel sukses menghancurkan,” media seakan mengabaikan kenyataan bahwa ada warga sipil dan infrastruktur Suriah yang turut terkena dampak. Narasi keberhasilan lebih menonjol dibanding penderitaan rakyat yang menjadi korban di sekitar lokasi.
Hal ini semakin jelas terlihat dalam perbandingan lintas media. Portal-portal berita yang berbasis di Tel Aviv atau Washington biasanya menyoroti ketepatan serangan dan klaim Israel mengenai target yang diincar. Sementara itu, media Suriah menekankan pelanggaran kedaulatan dan menyoroti korban sipil. Publik di dunia Arab menerima dua narasi yang sama sekali berbeda.
Kondisi ini memperlihatkan adanya polarisasi di dunia pemberitaan. Di satu sisi ada media yang memilih untuk mengaburkan sisi ilegal dari serangan Israel, sementara di sisi lain ada media yang menekankan bahwa Israel sedang melakukan terorisme negara. Polarisasi ini sejalan dengan blok politik di kawasan, antara poros pro-hegemoni Barat dan pemirsa Arab yang ingin adanya pemberitaan yang berimbang.
Framing yang terkesan sepele ini sebenarnya punya dampak jangka panjang. Dengan terus-menerus mendengar berita yang menonjolkan “keberhasilan Israel,” publik bisa terbiasa menganggap serangan udara ke Suriah sebagai hal wajar. Efek normalisasi ini berbahaya, karena lama-lama bisa mengikis sensitivitas masyarakat terhadap pelanggaran kedaulatan.
Sementara itu, Damaskus berulang kali mengajukan protes resmi ke PBB setiap kali terjadi serangan Israel. Namun, langkah diplomatik ini jarang mendapat liputan luas di media internasional. Publik lebih banyak mendengar narasi dari Israel ketimbang dari pemerintah Suriah sendiri. Lagi-lagi, faktor framing media berperan besar di sini.
Kasus pemberitaan serangan ke Masyaf hanyalah satu contoh, namun cukup mencerminkan pola umum. Israel selalu mendapat sorotan sebagai pihak yang “efektif” dan “tepat sasaran,” sementara Suriah digambarkan sekadar sebagai lokasi yang diserang. Ketimpangan narasi ini menutup mata publik terhadap hakikat sebenarnya dari konflik.
Seiring berjalannya waktu, pertanyaan penting muncul: apakah media akan terus mempertahankan gaya pemberitaan seperti ini? Atau akan ada keberanian untuk menyebut agresi sebagai agresi, teror sebagai teror, tanpa harus memolesnya dengan diksi teknis yang melenakan?
Jawabannya tentu sangat bergantung pada dinamika politik di kawasan. Selama normalisasi pada genosida, pembantaian dan teror Israel masih berlangsung di kawasan, besar kemungkinan framing pemberitaan tetap lunak. Namun, jika konstelasi politik berubah, redaksi bisa kembali menggunakan diksi yang lebih jujur.
Yang jelas, peran media tidak bisa dianggap remeh. Pilihan kata, kalimat, dan headline memiliki daya untuk membentuk opini publik dan bahkan legitimasi politik. Dalam kasus Suriah dan Israel, cara media berbahasa Arab menuliskan berita bisa menentukan apakah publik melihat serangan itu sebagai keberhasilan operasi militer atau sebagai kejahatan internasional.
Masyaf, yang menjadi simbol serangan berulang Israel, juga menjadi simbol bagaimana narasi bisa dipelintir. Di balik setiap headline, ada ideologi, kepentingan, dan kalkulasi politik. Publik hanya bisa berharap agar suatu saat media berani menyajikan kebenaran apa adanya, bukan kebenaran yang sudah dipoles sesuai kepentingan sponsor.
Jika hal itu tercapai, maka pemberitaan tentang serangan Israel ke Suriah tidak lagi akan terdengar seperti laporan keberhasilan teknis, melainkan pengungkapan nyata tentang pelanggaran hukum internasional dan penderitaan rakyat yang menjadi korban. Inilah yang seharusnya menjadi tugas utama media di kawasan konflik.
Kode etik
Panduan penulisan berita dikenal dengan istilah kode etik jurnalistik atau style guide. Hampir semua media besar punya panduan sendiri untuk pemilihan diksi agar pemberitaan tidak tampak memihak.
📌 Prinsip Umum Panduan Diksi dalam Jurnalisme
1. Netralitas bahasa
Hindari istilah yang memberi legitimasi atau justifikasi sepihak.
Misalnya: jangan langsung menulis “teroris” kecuali ada dasar hukum internasional; gunakan “kelompok bersenjata” atau “milisi” jika statusnya diperdebatkan.
2. Presisi fakta
Pilih kata yang paling akurat menggambarkan peristiwa.
Misalnya: daripada menulis “Israel sukses menghancurkan fasilitas”, lebih netral menulis “Israel melancarkan serangan udara yang menargetkan fasilitas di Masyaf”.
3. Konteks hukum internasional
Gunakan istilah yang mengacu pada hukum internasional jika relevan, misalnya “wilayah yang diduduki” (occupied territory) ketimbang “wilayah disengketakan”.
Ini penting agar media tidak ikut membenarkan narasi pihak yang melakukan pelanggaran.
4. Menghindari glorifikasi kekerasan
Hindari diksi yang terdengar seperti perayaan (“sukses”, “berhasil”, “gemilang”) saat melaporkan serangan militer.
Gunakan deskripsi faktual: “serangan menyebabkan kerusakan pada fasilitas X”.
5. Keseimbangan narasumber
Cantumkan klaim dari semua pihak dengan atribusi jelas, misalnya: “Israel mengklaim menargetkan gudang senjata yang mengancam hegemoninya, sementara pemerintah Suriah menyebutnya sebagai agresi ilegal.”
Dengan begitu, media menyampaikan semua versi tanpa menghakimi.
6. Sensitivitas pada korban
Dalam konflik, hindari bahasa yang meniadakan penderitaan sipil.
Misalnya, bukan hanya “serangan menargetkan gudang senjata”, tapi juga tambahkan “warga sipil di sekitar lokasi dilaporkan terkena dampak”.
📖 Contoh pedoman nyata:
Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers (Indonesia)
Semua menekankan bahwa wartawan wajib memakai bahasa yang akurasi faktualnya jelas dan tidak menguntungkan salah satu pihak secara emosional.
👉 Jadi, sebenarnya panduannya ada. Tapi implementasinya sering kali bergantung pada orientasi politik pemilik media. (Dibuat oleh AI)
0 komentar:
Posting Komentar